Sabtu, 10 Maret 2012

Hakim PTUN Dinilai Gagal Paham

Direktur Advokasi Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gajah Mada, Oce Madril, mengkritik putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang membatalkan Surat Keputusan Pencabutan Pembebasan Bersyarat terhadap tujuh terpidana korupsi. Menurut Oce, majelis hakim PTUN gagal memahami apa yang dimaksud dengan pembebasan bersyarat atau remisi maupun yang dimaksud dengan hak asasi manusia (HAM).
"Putusan PTUN kemarin, saya telah terima putusannya, terlihat hakim mengalami gagal paham, apa yang dimaksud dengan HAM, asas umum pemerintahan yang baik, hakim terlihat tidak paham dengan kebijakan ini," kata Oce dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu (10/3/2012).  Ia mendukung upaya Kementerian Hukum dan HAM mengajukan banding atas putusan PTUN tersebut.
Gagal paham, lanjut Oce, berimbas pada argumentasi yang keliru. Majelis hakim memandang kalau kebijakan pengetatan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi terpidana korupsi tersebut melanggar HAM. Padahal, lanjut Oce, remisi dan pembebasan bersyarat bukan merupakan HAM.
Berdasarkan undang-undang, katanya, yang dimaksud dengan HAM adalah hak bawaan dari lahir. "Kalau narapidana itu terlibat korupsi, itu bukan bawaan dari lahir, itu kesalahan dia, kemudian dia dipidana," sambung Oce.
"Cara berpikir hakim ini tidak nyambung dengan pertimbangan hukum yang dia sampaikan sendiri, hakim tidak paham dengan pembebasan bersyarat," katanya lagi.
Pembebasan bersyarat dan remisi, katanya, memang dapat dibatasi. Apalagi bagi terpidana kasus kejahatan luar biasa seperti korupsi. Dalam PP 28 Tahun 2006, kata Oce, diatur sejumlah syarat yang harus dipenuhi sebelum mendapatkan remisi atau pembebasan bersyarat. "Salah satu syarat, jalani hukuman sembilan bulan, dua per tiga masa hukuman, melalui pertimbangan Dirjen Pas (Direktur Jenderal Pemasyarakatan). Pertimbangannya saja sudah membatasi," ungkap Oce.
Kebijakan pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat bagi terpidana korupsi kembali menjadi kontroversi setelah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) mengabulkan gugatan atas Surat Keputusan Pencabutan Pembebasan Bersyarat Kementerian Hukum dan HAM. Dalam amar putusan tersebut, ketujuh terpidana korupsi selaku penggugat harus dibebaskan.
Mereka adalah tiga orang terpidana kasus suap cek pelawat pemilihan Dewan Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI), yaitu Ahmad Hafiz Zawawi, Bobby Satrio Hardiwibowo Suhardiman, dan Hengky Baramuli; dua terpidana kasus korupsi PLTU Sampit yaitu Hesti Andi Tjahyanto, dan Agus Widjayanto Legowo; dan dua lainnya terpidana kasus pengadaan alat puskesmas keliling, yaitu Mulyono Subroto, dan Ibrahim.
Kementerian Hukum dan HAM kemudian melaksanakan putusan provisi tersebut dengan membebaskan ketujuh penggugat yang didampingi Yusril sebagai kuasa hukumnya itu. Meskipun demikian, Kemenhuk HAM akan mengajukan banding atas pokok perkara putusan PTUN tersebut. Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin menengarai, putusan tersebut berimplikasi lebih jauh jika tidak dibanding. Dikhawatirkan, dapat menjadi yurisprudensi yang justru melonggarkan hukuman terpidana kasus kejahatan luar biasa lain disamping korupsi.

Sumber:
Kompas.com

Tidak ada komentar:

Otoritas Jasa Keuangan telah mengeluarkan Peraturan OJK (POJK) No. 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian sehubungan dengan Covid-19

Otoritas Jasa Keuangan telah mengeluarkan Peraturan OJK (POJK) No. 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional. Isinya akan dibe...