Jumat, 16 Maret 2012

Seputar Putusan MK tgl 17 Februari 2012 : anak yang dilahirkan di luar perkawinan memiliki hubungan perdata

Mahkamah Konstitusi (MK) pada 17 Februari 2012 memutuskan anak yang dilahirkan di luar perkawinan memiliki hubungan perdata (status hukum) dengan ayahnya bila dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan atau alat bukti lain menurut hukum.

Putusan majelis MK terkait pengujian Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dimohonkan Aisyah Mochtar (Machica Mochtar) dan anaknya, Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono.

Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil saat membacakan pertimbangan mengatakan secara alamiah, tidaklah mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa. Baik melalui hubungan seksual (coitus) maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan.

Namun ada keberatan atas Putusan majelis MK tersebut diatas yang beritanya adalah sebagai berikut dibawah ini:

Tinjau Kembali Putusan MK: Hukum Allah Lebih Tinggi dari MK
Rabu, 14 Mar 2012

JAKARTA (VoA-Islam) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) merekomendasikan kepada DPR RI da Pemerintah untuk mengajukan dan membahas revisi UU tentang MK dengan mengatur kembali hal-hal terkait dengan pelaksanaan kewenangan MK yang pokok-pokoknya telah diatur dalam UUD 1945 agar menjadi lebih proporsional, tidak berlebihan, dan melampaui batas-batas kewajaran.
MUI dengan tegas mengatakan, ada dua hal yang sangat penting terkait revisi tersebut, yakni: Pertama, agar ada ketentuan larangan bagi MK untuk menjatuhkan putusan yang isinya bertentangan dengan ajaran dari agama-agama yang diakui di Tanah Air, termasuk ajaran Islam.
Kedua, ketentuan yang mengatur apabila putusan MK bertentangan dan melanggar ajaran agama-agama yang hidup dan berkembang di Indonesia, maka putusan tersebut sepanjang yang berkaitan dengan ajaran-ajaran agama, tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengingat. Kedua hal ini dalam keyakinan MUI merupakan pelaksanaan dari amanat UUD 1945, khususnya Pasal 29, yang menjadi acuan bagi MK dalam menunaikan tugas dan kewenangannya.
Dalam sistem hukum nasional di Indonesia, putusan MK adalah putusan yang dianggap lebih tinggi (final), sehingga tidak ada upaya hukum lagi setelah itu. Kecuali harus mengubah RUU mengenai kewenangan MK terlebih dulu. Jalurnya pun harus melalui jalur politik, yakni parlemen (DPR). Untuk meninjau kembali putusan MK, sepertinya perlu kesabaran dan kesungguhan. Karenanya menjadi sulit ketika putusan MK telah dikeluarkan.  Apalagi untuk ditinjau kembali.
“Namun mengingat dampak yang ditimbulkan oleh putusan MK tersebut sangat besar dan luar biasa ngawurnya, maka MUI tetap meminta agar MK melakukan peninjauan kembali (PK) terhadap putusannya, demi kemaslahatan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih besar urgensinya,” kata HM. Ichwan Sam, Sekjen MUI.
Lebih lanjut, MUI meminta kepada MK agar apabila terdapat permohonan pengujian undang-undang yang berkaitan dengan ajaran Islam pada masa mendatang, hendaknya MUI diberi tahu dan diundang untuk hadir dalam sidang pengujian undang-undang guna menyampaikan sikap dan pendapatnya.
Dengan tetap menghargai independensi MK, MUI mengharapkan kiranya 9 hakim konstitusi (MK) untuk senantiasa berhati-hati dan merenungkan secara mendalam, tidak saja mengenai isi putusan yang akan dijatuhkan, tetapi juga harus mampu membayangkan dampak yang ditimbulkan di masa depan, sehingga dapat mencegah terjadinya kemudharatan massif bagi masyarakat luas. Selain itu, MUI mengharapkan, dalam merumuskan putusan, MK hendaknya mempertimbangkan kondisi masyarakat Indonesia yang religius dengan  ajaran agama yang dipeluk dan diyakininya.
Kabarnya, MUI sudah mengundang MK terkait putusannya tersebut, namun MK tidak memenuhi undangan MUI tersebut. Ada apa dengan MK???  Ada apa denga Ketua MK Mahfud MD? Sebagai pimpinan, Mahfud MD  harus bertanggungjawab, karena telah mengacak-acak syariat Islam. Camkan! Putusan MK bukanlah putusan yang lebih tinggi. Ketetapan hukum Allah lah, sumber hukum yang lebih tinggi dari segala-galanya.
Desastian

Sumber: http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2012/03/14/18169/tinjau-kembali-putusan-mk-hukum-allah-lebih-tinggi-dari/

Kamis, 15 Maret 2012

Inilah salah satu contoh "hukum melindungi moralitas publik tapi bukan hak perorangan"

Inilah salah satu contoh "hukum melindungi moralitas publik tapi bukan hak perorangan"

 

Gadis Maroko Bunuh Diri Setelah Dipaksa Menikah dengan Pemerkosanya



Kegeraman di kalangan para aktivis negeri itu. Lewat petisi online, mereka menyerukan pemerintah untuk mengubah aturan dalam hukum pidana negeri itu.

Gadis malang bernama Amina Filali itu bunuh diri pada Sabtu, 10 Maret lalu dengan menelan racun tikus. Hal itu dilakukan setelah dirinya dipaksa menikah dengan pria yang memperkosanya setahun lalu.

Peristiwa yang dialami Amina menimbulkan kemarahan banyak orang di Facebook dan Twitter. Bahkan sebuah halaman Facebook bertitel "We are all Amina Filali" telah dibuat dan dibanjiri komentar. Para aktivis juga membuat petisi online yang menyerukan Maroko untuk mengakhiri praktek menikahkan pemerkosa dan korbannya. Petisi tersebut telah didukung oleh lebih dari 1.000 orang.

Sesuai pasal 475 UU Pidana Maroko, pelaku penculikan di bawah umur bisa menikahi korbannya agar terhindar dari hukuman. Pasal ini telah sering digunakan untuk menjustifikasi tradisi lama yang memungkinkan pemerkosa menikahi korbannya demi menjaga kehormatan keluarga si wanita.

"Amina (16) tiga kali dilanggar haknya, oleh pemerkosanya, oleh tradisi dan oleh Pasal 475 hukum Maroko," demikian kutipan tweet seorang aktivis, Abadila Maaelaynine seperti dilansir Denver Post, Kamis (15/3/2012).

"Sayangnya ini fenomena yang terus berulang," cetus Fouzia Assouli, ketua kelompok HAM wanita, Democratic League for Women's Rights. "Kami telah bertahun-tahun meminta pembatalan Pasal 475 hukum pidana yang memungkinkan pemerkosa lolos dari peradilan," katanya.

"Di Maroko, hukum melindungi moralitas publik tapi bukan perorangan," cetus Assouli.

Ayah korban, Lahcen Filali mengatakan, justru pengadilan yang sejak awal memaksakan opsi pernikahan. "Jaksa menyarankan putri saya untuk menikah," kata Filali.

Bahkan pelaku pemerkosaan awalnya menolak untuk menikahi korban. Dia baru bersedia setelah diancam akan dihukum.

Di Maroko, hukuman untuk pemerkosaan adalah antara 5 dan 10 tahun penjara. Namun untuk kasus di bawah umur, hukumannya meningkat menjadi 10-20 tahun penjara.

Disampaikan Filali, Amina pernah mengeluh kepada ibunya bahwa suaminya berulang kali memukulinya selama 5 bulan pernikahan tersebut. Namun sang ibu terus menasihatinya untuk bersabar.
(ita/vit)

Sabtu, 10 Maret 2012

Hakim PTUN Dinilai Gagal Paham

Direktur Advokasi Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gajah Mada, Oce Madril, mengkritik putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang membatalkan Surat Keputusan Pencabutan Pembebasan Bersyarat terhadap tujuh terpidana korupsi. Menurut Oce, majelis hakim PTUN gagal memahami apa yang dimaksud dengan pembebasan bersyarat atau remisi maupun yang dimaksud dengan hak asasi manusia (HAM).
"Putusan PTUN kemarin, saya telah terima putusannya, terlihat hakim mengalami gagal paham, apa yang dimaksud dengan HAM, asas umum pemerintahan yang baik, hakim terlihat tidak paham dengan kebijakan ini," kata Oce dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu (10/3/2012).  Ia mendukung upaya Kementerian Hukum dan HAM mengajukan banding atas putusan PTUN tersebut.
Gagal paham, lanjut Oce, berimbas pada argumentasi yang keliru. Majelis hakim memandang kalau kebijakan pengetatan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi terpidana korupsi tersebut melanggar HAM. Padahal, lanjut Oce, remisi dan pembebasan bersyarat bukan merupakan HAM.
Berdasarkan undang-undang, katanya, yang dimaksud dengan HAM adalah hak bawaan dari lahir. "Kalau narapidana itu terlibat korupsi, itu bukan bawaan dari lahir, itu kesalahan dia, kemudian dia dipidana," sambung Oce.
"Cara berpikir hakim ini tidak nyambung dengan pertimbangan hukum yang dia sampaikan sendiri, hakim tidak paham dengan pembebasan bersyarat," katanya lagi.
Pembebasan bersyarat dan remisi, katanya, memang dapat dibatasi. Apalagi bagi terpidana kasus kejahatan luar biasa seperti korupsi. Dalam PP 28 Tahun 2006, kata Oce, diatur sejumlah syarat yang harus dipenuhi sebelum mendapatkan remisi atau pembebasan bersyarat. "Salah satu syarat, jalani hukuman sembilan bulan, dua per tiga masa hukuman, melalui pertimbangan Dirjen Pas (Direktur Jenderal Pemasyarakatan). Pertimbangannya saja sudah membatasi," ungkap Oce.
Kebijakan pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat bagi terpidana korupsi kembali menjadi kontroversi setelah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) mengabulkan gugatan atas Surat Keputusan Pencabutan Pembebasan Bersyarat Kementerian Hukum dan HAM. Dalam amar putusan tersebut, ketujuh terpidana korupsi selaku penggugat harus dibebaskan.
Mereka adalah tiga orang terpidana kasus suap cek pelawat pemilihan Dewan Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI), yaitu Ahmad Hafiz Zawawi, Bobby Satrio Hardiwibowo Suhardiman, dan Hengky Baramuli; dua terpidana kasus korupsi PLTU Sampit yaitu Hesti Andi Tjahyanto, dan Agus Widjayanto Legowo; dan dua lainnya terpidana kasus pengadaan alat puskesmas keliling, yaitu Mulyono Subroto, dan Ibrahim.
Kementerian Hukum dan HAM kemudian melaksanakan putusan provisi tersebut dengan membebaskan ketujuh penggugat yang didampingi Yusril sebagai kuasa hukumnya itu. Meskipun demikian, Kemenhuk HAM akan mengajukan banding atas pokok perkara putusan PTUN tersebut. Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin menengarai, putusan tersebut berimplikasi lebih jauh jika tidak dibanding. Dikhawatirkan, dapat menjadi yurisprudensi yang justru melonggarkan hukuman terpidana kasus kejahatan luar biasa lain disamping korupsi.

Sumber:
Kompas.com

Otoritas Jasa Keuangan telah mengeluarkan Peraturan OJK (POJK) No. 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian sehubungan dengan Covid-19

Otoritas Jasa Keuangan telah mengeluarkan Peraturan OJK (POJK) No. 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional. Isinya akan dibe...