Rabu, 18 Desember 2013

Sengketa Merek Kopitiam


News:

Sengketa merek Kopitiam tidak ada akhirnya. Kemarin giliran pemilik merek Kopitiam, Abdul Alex Soelistyo, menggugat balik pemilik merek QQ Kopitiam, Mery Suhenny, di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Abdul Alex menuntut ganti rugi total mencapai Rp 8 miliar kepada Mery lantaran telah menggunakan merek Kopitiam tanpa izin. "Sudah ada putusan pengadilan bahwa merek Kopitiam milik kami," ujar kuasa hukum Abdul Alex, Susi Tan, Selasa (19/11/2013).
Abdul Alex mengklaim sebagai pemilik sah merek Kopitiam setelah memenangi gugatan atas pemilik merek Kok Tong Kopitiam. Selanjutnya, Abdul Alex dinyatakan sebagai satu-satunya yang berhak memegang merek Kopitiam. Berpegang pada putusan ini, Abdul Alex lewat pengumuman resmi di media massa tahun 2012 meminta semua pihak yang menggunakan kata Kopitiam mengubah atau menghilangkan kata Kopitiam.
Susi Tan mengklaim, sudah banyak pemilik merek yang mematuhi pengumuman ini. Namun, ada beberapa pengusaha yang menolak dan justru mengajukan gugatan, salah satunya Mery. "Sudah dua kali kami peringatkan, tetapi mereka justru melakukan ekspansi," terang Susi.
Berpegang Pasal 76 UU tentang Merek, Abdul Alex menggugat balik Merry karena merasa dirugikan atas penggunaan merek Kopitiam tanpa izin. Abdul Alex meminta ganti rugi materiil senilai Rp 5 miliar dan immateriil Rp 3 miliar.
Firdaus selaku kuasa hukum Mery menyatakan gugatan Abdul Alex tidak berdasar. "Kedudukan Abdul Alex sebagai pemegang merek masih kami gugat," ujarnya.
Asal tahu saja, sebelumnya Mery selaku pengusaha Kopitiam merasa terusik atas putusan pengadilan yang menyatakan Abdul Alex selaku pemilik merek Kopitiam. Menurut Mery, Kopitiam tidak bisa didaftarkan sebagai merek karena merupakan kata umum yang artinya kedai kopi.
Untuk itu, Mery menggugat pembatalan 22 merek Kopitiam milik Abdul Alex. Tak hanya itu, keberadaan merek Kopitiam juga tengah digugat juga oleh pengusaha Lau's Kopitiam, Phiko Leo Putra. 
(Wuwun Nafsiah)
Sumber : KONTAN
Editor : Erlangga Djumena
Merek (brands) diyakini bukan saja berperan sebagai identifier, namun juga berperan strategik sebagai diferensiator, aset dan bahkan kini juga dipandang sebagai 'komoditas' yang bisa diperjual-belikan. Membangun sebuah merek tentu saja bukanlah perkara mudah; diperlukan waktu, upaya terintegrasi dan dana yang sangat besar. Tak heran bila ada pihak-pihak yang 'tergoda' untuk menempuh jalan pintas, misalnya dengan membonceng ketenaran merek-merek kepunyaan pihak lain. Itikad tidak baik semacam ini merupakan salah satu sumber penyebab terjadinya sengketa merek antar pihak. Buku ini diawali gambaran umum perkembangan merek dan permerekan di Indonesia, kemudian diikuti fokus utama buku ini, yakni dokumentasi 8 kasus sengketa merek yang putusannya memiliki kekuatan hukum tetap pada tingkat Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung. Kedelapan kasus tersebut adalah sengketa merek ExtraJoss versus Enerjos; sengketa merek Prada; Intel; kecap Nasional versus kecap Rasional; Alyssa Ashley; Kinotakara; Sabun Claudia; dan sengketa merek Cravit versus Cravox. Sengketa merek tersebut menyangkut berbagai aspek, seperti klaim 'merek terkenal', peniruan merek, gugatan pencabutan registrasi merek karena tidak dipakai dalam perdagangan selama 3 tahun berturut-turut dan kemiripan nama merek.

Otoritas Jasa Keuangan telah mengeluarkan Peraturan OJK (POJK) No. 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian sehubungan dengan Covid-19

Otoritas Jasa Keuangan telah mengeluarkan Peraturan OJK (POJK) No. 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional. Isinya akan dibe...