
Rabu, 28 Januari 2015
Minggu, 25 Januari 2015
Sabtu, 24 Januari 2015
Jiwa patriot pengacara yang menduduki kursi penting di #KPK
Menarik juga status Islah Bahrawi di Facebook ini :
Pemanggilan
saksi2 kasus BG terhadap beberapa Perwira oleh KPK, mungkin saja
menyeret beberapa nama lain di tubuh POLRI. Kegelisahan menyeruak.
BW ditangkap untuk dijadikan alat tawar dan alat gebrak : "Don't mess with me!".
Permasalahan lain lagi akan muncul ketika KPK harus memanggil BG apalagi harus menahannya. Dalam posisi ini, situasi akan semakin memanas dan rumit. ..
Satu hal juga, jangan kita berfikir bahwa POLRI juga solid. Didalamnya juga miring sono, miring sini...
Mudah2an kita yang awam ini masih mudah beli beras di toko sebelah...
Menurut saya dikaitkan dengan rencana pengunduran diri rekan Bambang W adalah sebagai berikut:
Bisa jadi ...Bambang W mengajukan pengunduran diri agar bidikan kepada dirinya tidak dijadikan tawar menawar terhadap case Budi Gunawan. Dengan kata lain Bambang W membuka jalan agar case Budi Gunawan terus dilanjutkan. Kelihatannya BW lebih rela melepas kedudukannya asalkan KPK bisa tetap berjalan tanpa ada bandul yg memberatkan.
BW ditangkap untuk dijadikan alat tawar dan alat gebrak : "Don't mess with me!".
Permasalahan lain lagi akan muncul ketika KPK harus memanggil BG apalagi harus menahannya. Dalam posisi ini, situasi akan semakin memanas dan rumit. ..
Satu hal juga, jangan kita berfikir bahwa POLRI juga solid. Didalamnya juga miring sono, miring sini...
Mudah2an kita yang awam ini masih mudah beli beras di toko sebelah...
Menurut saya dikaitkan dengan rencana pengunduran diri rekan Bambang W adalah sebagai berikut:
Bisa jadi ...Bambang W mengajukan pengunduran diri agar bidikan kepada dirinya tidak dijadikan tawar menawar terhadap case Budi Gunawan. Dengan kata lain Bambang W membuka jalan agar case Budi Gunawan terus dilanjutkan. Kelihatannya BW lebih rela melepas kedudukannya asalkan KPK bisa tetap berjalan tanpa ada bandul yg memberatkan.
Jumat, 23 Januari 2015
Ini Profil Pelapor Bambang Widjojanto ke Polisi
JUM'AT, 23 JANUARI 2015 | 17:42 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Sugianto, nama pelapor Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto tercatat pernah menjadi anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan periode 2009-2014. Anggota Komisi Hukum DPR itu menyelesaikan pendidikan hingga SMEA di Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringinbarat, Kalimantan Tengah.
Pada pemilihan umum 2009, Sugianto terpilih dari Dapil Kalimantan Tengah dengan perolehan suara mencapai 41.337 suara (35,8%). Pengusaha kelahiran Sampit 5 Juli 1973 tercatat pernah menikah dengan artis Ussy Sulistiawaty pada 12 Agustus 2005 sampai bercerai setahun kemudian. (Baca:Pelapor Kasus Bambang Widjojanto dari PDIP, Siapa Dia?
Nama Sugianto sempat populer saat terjadi kasus penyiksaan investigator lingkungan hidup Faith Doherty dari Environmental Investigation Agency, London dan Ruwidrijanto, anggota lembaga swadaya masyarakat Telapak Indonesia. Sugianto juga dituding menyiksa Abi Kusno Nachran, wartawan tabloid Lintas Khatulistiwa. Abi ternyata masih kakek Sugianto.
Penyiksaan yang diterima Faith Doherty waktu itu cukup kejam. Empat jari tangan kirinya terpotong, menyisakan hanya jempol. Sedangkan Abi Kusno Nachran, jari di tangan kanannya utuh, tapi sekujur lengannya menyimpan bekas luka. Abi menyebut dua nama yang bertanggung jawab atas kekerasan itu: Sugianto dan Abdul Rasyid. (Baca:Pelapor Bambang KPK Klaim Korban Pilkada Kobar )
Selain itu Sugianto juga pernah dikaitkan dengan kasus pembalakan liar di Taman Nasional Tanjung Puting. Waktu itu tahun 2002 Sugianto dipercaya pamannya Rasyid mengelola perusahaan Tanjung Lingga yang mendapat hak pengusahaan hutan seluas 40 ribu hektare lebih di Kalimantan Tengah.
Terbongkarnya pembalakan liar diakui sendiri oleh Sugianto. Ia terekam video pabrik-pabrik ramin milik Rasyid yang dibuat oleh tim investigasi Environmental Investigation Agency bersama Ruwidrijanto, anggota Telapak Indonesia, pada tahun 1999. Ketika itu, mereka menyamar sebagai pengusaha kayu yang melihat-lihat pabrik milik Rasyid. Sugianto, sendiri yang mengantar tim ini berkeliling saat itu.
Dalam rekaman itu Sugianto juga memaparkan bagaimana seluk beluk mengekspor kayu-kayu secara ilegal dari Taman Nasional Tanjung Puting. Tindakan itu menghindari pajak ekspor yang mencapai 25 persen.
TEMPO.CO, Jakarta - Sugianto, nama pelapor Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto tercatat pernah menjadi anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan periode 2009-2014. Anggota Komisi Hukum DPR itu menyelesaikan pendidikan hingga SMEA di Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringinbarat, Kalimantan Tengah.
Pada pemilihan umum 2009, Sugianto terpilih dari Dapil Kalimantan Tengah dengan perolehan suara mencapai 41.337 suara (35,8%). Pengusaha kelahiran Sampit 5 Juli 1973 tercatat pernah menikah dengan artis Ussy Sulistiawaty pada 12 Agustus 2005 sampai bercerai setahun kemudian. (Baca:Pelapor Kasus Bambang Widjojanto dari PDIP, Siapa Dia?
Nama Sugianto sempat populer saat terjadi kasus penyiksaan investigator lingkungan hidup Faith Doherty dari Environmental Investigation Agency, London dan Ruwidrijanto, anggota lembaga swadaya masyarakat Telapak Indonesia. Sugianto juga dituding menyiksa Abi Kusno Nachran, wartawan tabloid Lintas Khatulistiwa. Abi ternyata masih kakek Sugianto.
Penyiksaan yang diterima Faith Doherty waktu itu cukup kejam. Empat jari tangan kirinya terpotong, menyisakan hanya jempol. Sedangkan Abi Kusno Nachran, jari di tangan kanannya utuh, tapi sekujur lengannya menyimpan bekas luka. Abi menyebut dua nama yang bertanggung jawab atas kekerasan itu: Sugianto dan Abdul Rasyid. (Baca:Pelapor Bambang KPK Klaim Korban Pilkada Kobar )
Selain itu Sugianto juga pernah dikaitkan dengan kasus pembalakan liar di Taman Nasional Tanjung Puting. Waktu itu tahun 2002 Sugianto dipercaya pamannya Rasyid mengelola perusahaan Tanjung Lingga yang mendapat hak pengusahaan hutan seluas 40 ribu hektare lebih di Kalimantan Tengah.
Terbongkarnya pembalakan liar diakui sendiri oleh Sugianto. Ia terekam video pabrik-pabrik ramin milik Rasyid yang dibuat oleh tim investigasi Environmental Investigation Agency bersama Ruwidrijanto, anggota Telapak Indonesia, pada tahun 1999. Ketika itu, mereka menyamar sebagai pengusaha kayu yang melihat-lihat pabrik milik Rasyid. Sugianto, sendiri yang mengantar tim ini berkeliling saat itu.
Dalam rekaman itu Sugianto juga memaparkan bagaimana seluk beluk mengekspor kayu-kayu secara ilegal dari Taman Nasional Tanjung Puting. Tindakan itu menghindari pajak ekspor yang mencapai 25 persen.
Selasa, 15 Juli 2014
Putusan MK RI No. 50/PUU-XII/2014 atas permohonan Pengujian UU Nomor 42 Th 2008
Putusan MK RI
NOMOR 50/PUU-XII/2014
atas permohonan Pengujian UU Nomor 42 Th 2008
Untuk membaca/download silahkan klik langsung di Putusan tsb diatas
Salam,
@K4ri0
Pemilihan Umum dan Monetocracy
Sumber: Majalah Esquire Indonesia edisi Desember 2010
“Money Politics dan Shadow State adalah dua elemen yang membajak makna dan proses demokrasi atas nama uang”.

Inilah konsekuensi dari sebuah pilihan. Kita bisa saja memilih sistem monarki atau aristokrasi. Namun tetap tidak ada jaminan bahwa kedua sistem pilihan tersebut lebih baik daripada sistem demokrasi yang sekarang kita anut. Berkelindan dengan itu, hampir seluruh negara di dunia mengklaim dirinya adalah negara yang demokratis. Tentu dengan ciri dan karakternya masing-masing. Berdasarkan data Economist Intelligence Unit (EIU) 2008, sebanyak 167 dari 193 negara berdaulat telah menerapkan sistem demokrasi. Dengan indeks demokrasi 6,34 (enam koma tiga empat), Indonesia berada dalam urutan ke-67 sebagai negara berkategori flawed democracy.
Singkatnya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, demokrasi kini dianggap menjadi pilihan terbaik dari berbagai alternatif pilihan terburuk yang ada. Bilamana ditemukan kelemahan, maka jalan terbaiknya adalah dengan mengurangi dampak negatif dari kelemahan-kelemahan tersebut.
Biaya Pemilihan Umum
Salah satu ujung tombak dan barometer penerapan sistem demokrasi dari suatu negara adalah pemilihan umum. Proses inilah yang membuka ruang terjadinya pergantian, pergeseran, atau justru penguatan status quo dari kepemimpinan yang ada. Belum reda rasa lelah kita pasca pagelaran nasional Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2009, tahun ini masyarakat Indonesia menyelenggarakan ”pesta rakyat” secara bergiliran bertajuk ”Pemilihan Umum Kepala Daerah” (Pemilukada).
Tidak tanggung-tanggung, 246 Pemilukada digelar sepanjang tahun 2010 di tingkat Provinsi, Kabupaten, dan Kota se-Indonesia. Artinya, rata-rata hampir satu hari sekali telah dilangsungkan Pemilukada dengan harapan kepala daerah mampu menyerap aspirasi rakyat sebenar-benarnya.
Konsekuensinya, tulisan Jan Aart Scholte dan Albrecht Schnabel (2002) mengenai tesis ”Democray is not cheap nor easy” semakin terbukti. Tengoklah biaya yang harus dikeluarkan untuk penyelenggaraan Pemilukada ini. Menurut Litbang Kompas (18/10), penyelenggaraan Pemilukada 2010-2014 menelan biaya Rp 15 triliun atau 333% lebih besar dari biaya Pemilu Legislatif atau 133% dari biaya Pemilu Presiden tahun 2009. Menariknya, jumlah tersebut belum termasuk dengan biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing kandidatnya.
Bersama dengan para demagog, seorang kandidat konon memerlukan Rp 3 miliar s.d. Rp 20 miliar untuk mengincar kursi Bupati, Walikota, atau Gubernur. Belum lagi ditambah dengan biaya advokasi apabila bermaksud membawa kasus sengketa Pemilukada ke ranah hukum. Setidaknya puluhan hingga ratusan juta rupiah harus dirogoh dari kocek tiap-tiap kandidat untuk sekadar menyewa Advokat handal demi memindahkan arena ”pertempuran” dari lapangan ke dalam ruang persidangan. Berdasarkan data KPU, hingga akhir Oktober 2010 telah diselenggarakan 198 Pemilukada. Masygul, 189 kasus di antaranya telah didaftarkan menjadi sengketa di hadapan Mahkamah Konstitusi (MK). Sedangkan, 43 dari 44 partai politik yang berkompetisi dalam Pemilu 2009 lalu semuanya menggugat ke MK.
Money Politics dan Shadow State
Tidak semuanya sepakat bahwa besarnya biaya demokrasi yang dikeluarkan untuk Pemilukada hanyalah pemborosan bagi keuangan negara. Sebaliknya bagi kalangan pro-demokrasi, proses yang telah berlangsung haruslah dipermaklumkan. Alasannya, inilah perwujudan riil dari partisipasi rakyat, "one people one vote". Prinsip ini dinilai sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang memberikan kedaulatan penuh kepada rakyat pemilih. Akan tetapi, pelaksanaan Pemilu yang tidak jujur dan tidak adil tentu dapat menciderai Pemilu itu sendiri, misalnya apabila terjadi praktik money politics.
Istilah money politic (politik uang) atau vote buying (pembelian suara) tentu sudah tidak asing lagi di telinga sebagian besar masyarakat kita. Inilah salah satu praktik politik paling kotor dalam Pemilu. Praktik ini dilakukan dengan cara pemberian uang, barang, atau jasa untuk memengaruhi para calon pemilih agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu pada tahap pemungutan suara. Dahulu, money politic hanya dapat terendus namun tidak terlacak bentuknya, sehingga amat jarang dijatuhkan sanksi bagi pelakunya. Kini, modus money politic lebih mudah dibuktikan secara terang benderang melalui mekanisme hukum yang berlaku.
Adalah sidang terbuka di Mahkamah Konstitusi (MK) yang berulang kali mengungkap adanya praktik money politic yang terjadi sepanjang Pemilukada 2010. Beberapa pelaksanaan Pemilukada terbukti telah ternodai akibat terjadinya praktik money politic, misalnya: (1) Kota Surabaya, (2) Kota Tanjungbalai, (3) Kabupaten Kotawaringin Barat, (4) Kab. Mandaling Natal, (5) Kab. Konawe Selatan, (6) Kab. Sintang, (7) Kab. Gresik, (8) Kab. Sumbawa, dan (9) Kab. Merauke. Akibat hukumnya, kesembilan daerah ini harus melaksanakan pemungutan suara ulang. Khusus untuk Kab. Kotawaringin Barat, kandidat pemenang yang terbukti melakukan money politic sangat serius bahkan langsung didiskualifikasi!
Fakta yang demikian pastilah hanya puncak dari gunung es yang ada, sebab praktik money politic seperti ini merupakan sebagian saja dari pola ”permainan uang” (money games) dalam proses Pemilukada. Jenis lain yang tidak kalah bahayanya yaitu munculnya ”shadow state” (William Reno, 1990). Bentuk shadow state ini hadir dalam pola kekuasaan kepala daerah yang menjalankan pemerintahan dengan memberikan peran dan keuntungan sesuai kepentingan pemilik modal yang telah berjasa dalam mendukung pencalonannya.
Di banyak daerah, para calon kepala daerah yang ”kering” modal kampanye akan berupaya untuk mendekati atau didekati oleh pihak-pihak yang memiliki kemampuan dana berlebih. Timbal baliknya, apabila sang calon tersebut terpilih maka kebijakan harus dibuat untuk menguntungkan usaha, bisnis, atau investasi dari para pemodal itu.
Inilah yang kemudian menyebabkan banyak para calon kepala daerah, baik yang terpilih maupun tidak, menjadi tersandera dengan utang dan pinjaman modal masa lalunya. Di sinilah awal mula terjadinya perselingkuhan politik antara pemilik modal dengan calon kepala daerah. Jika tidak dengan cara korupsi konvensional, utang yang bertumpuk itu akan dibayar dengan program dan kebijakan yang pro capital sponsors.
Dari Monetocracy ke Plutocracy
Money politics dan shadow state adalah dua elemen yang membajak makna dan proses demokrasi atas nama uang. Perpaduan keduanya dapat mengubah democracy menjadi monetocracy atau ada juga yang menyebutnya dengan istilah moneytocracy atau moneycracy. Urban Dictionarymendefinisikan monetocracy sebagai suatu bentuk pemerintahan di mana salah satu pengendali utamanya adalah kekayaan materi. Salah satu karakternya dapat dijumpai dari sejauhmana para penyumbang dana semasa kampanye mampu menentukan pasang surut kebijakan dan suhu politik yang ada.
Fenomena monetocracy ini umumnya marak terjadi pada negara-negara berkembang, seperti di Afrika, Asia Selatan, dan tentunya juga di Indonesia. Hal ini setidaknya dapat kita telusuri dalam "The Rise of Moneytocracy" (Africa Report, 1992) karya Karl Maier yang menggambarkan bagaimana uang menjadi faktor determinan dalam proses pemilihan umum untuk membentuk pemerintahan di negara-negara Afrika.
Demokrasi yang telah bermetamorfosa menjadi monetocracy sudah pasti tidak akan menghasilkan kebijakan yang dapat diprediksi. Syahdan, Pemilukada yang dijangkiti virus monetocracy juga tidak dapat merefleksikan nurani dan keinginan dari para pemilih. Apalagi jika banyak dari mereka yang suaranya dibeli.
Sketsa antara politik dan siklus uang dalam Pemilukada tentu bisa ditarik ke atas peta yang lebih luas. Fenomena monetocracy juga dapat dijadikan gambaran untuk Pemilu Legislatif ataupun Pemilu Presiden dan/atau Wakil Presiden. Dalam lingkup roda pemerintahan yang lebih luas, monetocracy kadangkala disepadankan dengan plutocracy. Berasal dari bahasa latin yaitu ploutos (kekayaan) dankratia (pemerintahan), secara sederhana plutocracy bermakna pemerintahan yang dikuasai atau dikontrol oleh orang-orang yang memiliki uang atau kekayaan.
Tanpa harus selalu menjadi orang nomor satu, pada umumnya perorangan atau sekelompok orang ini akan terus membayang-bayangi pemerintahan. Tujuannya jelas, yaitu agar kebijakannya selalu berpihak atau setidak-tidaknya jangan sampai merugikan kepentingannya. Hal ini nampak terjadi manakala pemilihan umum telah dilepas sepenuhnya kepada pasar, media publik, dan partai politik yang sejak awal memang dimiliki dan dijalankan oleh para kaum pemodal itu sendiri. Proses pemilu, pemilihan jabatan publik, dan kepentingan pemerintah juga tidak tertutup kemungkinan menjadi komoditi yang dapat diperjualbelikan.
Dalam konteks ini, pemerintahan pusat ataupun daerah yang dibentuk melalui embrio monetocracysangat dikhawatirkan akan melakukan korupsi politik (political corruption). Dalam disertasinya ”Korupsi Politik di Negara Modern” (2007), Artidjo Alkotsar menyimpulkan bahwa korupsi politik muncul pada habitat kekuasaan yang memiliki hak dan diskresi politik yang luas serta memiliki kesempatan dan sarana untuk menyalahgunakan kekuasaan. Dalam kualifikasi Top Hat Crime (THC), modus operandinya dilakukan dengan menyalahgunakan kekuasaan politik pemerintahan dengan menguntungkan diri sendiri, keluarga, dan kroninya.
Korupsi politik inilah yang kemudian menjadi beban utama dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2010 yang baru saja diluncurkan olehTransparency International, Indonesia terbukti masih tetap bertengger diposisi ke-100 dari 178 negara dengan indeks 2,8 (dua koma delapan). Tidak mengherankan bukan?
Menutup tulisan ini, setelah melaksanakan tiga kali pemilihan umum nasional tanpa kegaduhan dan anarki politik yang berarti, Indonesia diyakini telah melewati masa transisi dari rezim otoriter menuju rezim demokratis. Namun demikian, dalam satu dasawarsa ke depan Indonesia masih harus menghadapi ujian berikutnya.
Akankah demokrasi yang diusung di atas gelombang reformasi tetap berada dalam bentuk dan wujud sebenarnya? Ataukah justru demokrasi Indonesia akan berubah menjadi monetocracy yang membawa pada puncak kedzaliman plutocracy? Persoalan ini akan terjawab dari sejauh mana kesadaran politik dari elit bangsa serta pendidikan politik masyarakat sipil akan dibangun. Semoga apa yang menjadi kekhawatiran kita - atau setidaknya kekhawatiran penulis - tidak akan terjadi.
* Penulis adalah Staf Ketua Mahkamah Konstitusi RI. Sekretaris Dewan Pakar Ikatan Sarjana Hukum Indonesia (ISHI). Tulisan ini adalah pendapat pribadi.
Diambil dari blog Jurnal Hukum Pan Mohamad Faiz
Rabu, 18 Desember 2013
Sengketa Merek Kopitiam
News:
Sengketa merek Kopitiam tidak ada akhirnya. Kemarin giliran pemilik merek Kopitiam, Abdul Alex Soelistyo, menggugat balik pemilik merek QQ Kopitiam, Mery Suhenny, di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Abdul Alex menuntut ganti rugi total mencapai Rp 8 miliar kepada Mery lantaran telah menggunakan merek Kopitiam tanpa izin. "Sudah ada putusan pengadilan bahwa merek Kopitiam milik kami," ujar kuasa hukum Abdul Alex, Susi Tan, Selasa (19/11/2013).
Abdul Alex mengklaim sebagai pemilik sah merek Kopitiam setelah memenangi gugatan atas pemilik merek Kok Tong Kopitiam. Selanjutnya, Abdul Alex dinyatakan sebagai satu-satunya yang berhak memegang merek Kopitiam. Berpegang pada putusan ini, Abdul Alex lewat pengumuman resmi di media massa tahun 2012 meminta semua pihak yang menggunakan kata Kopitiam mengubah atau menghilangkan kata Kopitiam.
Susi Tan mengklaim, sudah banyak pemilik merek yang mematuhi pengumuman ini. Namun, ada beberapa pengusaha yang menolak dan justru mengajukan gugatan, salah satunya Mery. "Sudah dua kali kami peringatkan, tetapi mereka justru melakukan ekspansi," terang Susi.
Berpegang Pasal 76 UU tentang Merek, Abdul Alex menggugat balik Merry karena merasa dirugikan atas penggunaan merek Kopitiam tanpa izin. Abdul Alex meminta ganti rugi materiil senilai Rp 5 miliar dan immateriil Rp 3 miliar.
Firdaus selaku kuasa hukum Mery menyatakan gugatan Abdul Alex tidak berdasar. "Kedudukan Abdul Alex sebagai pemegang merek masih kami gugat," ujarnya.
Asal tahu saja, sebelumnya Mery selaku pengusaha Kopitiam merasa terusik atas putusan pengadilan yang menyatakan Abdul Alex selaku pemilik merek Kopitiam. Menurut Mery, Kopitiam tidak bisa didaftarkan sebagai merek karena merupakan kata umum yang artinya kedai kopi.
Untuk itu, Mery menggugat pembatalan 22 merek Kopitiam milik Abdul Alex. Tak hanya itu, keberadaan merek Kopitiam juga tengah digugat juga oleh pengusaha Lau's Kopitiam, Phiko Leo Putra.
(Wuwun Nafsiah)Sumber : KONTAN
Editor : Erlangga Djumena
Merek (brands) diyakini bukan saja berperan sebagai identifier, namun juga berperan strategik sebagai diferensiator, aset dan bahkan kini juga dipandang sebagai 'komoditas' yang bisa diperjual-belikan. Membangun sebuah merek tentu saja bukanlah perkara mudah; diperlukan waktu, upaya terintegrasi dan dana yang sangat besar. Tak heran bila ada pihak-pihak yang 'tergoda' untuk menempuh jalan pintas, misalnya dengan membonceng ketenaran merek-merek kepunyaan pihak lain. Itikad tidak baik semacam ini merupakan salah satu sumber penyebab terjadinya sengketa merek antar pihak. Buku ini diawali gambaran umum perkembangan merek dan permerekan di Indonesia, kemudian diikuti fokus utama buku ini, yakni dokumentasi 8 kasus sengketa merek yang putusannya memiliki kekuatan hukum tetap pada tingkat Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung. Kedelapan kasus tersebut adalah sengketa merek ExtraJoss versus Enerjos; sengketa merek Prada; Intel; kecap Nasional versus kecap Rasional; Alyssa Ashley; Kinotakara; Sabun Claudia; dan sengketa merek Cravit versus Cravox. Sengketa merek tersebut menyangkut berbagai aspek, seperti klaim 'merek terkenal', peniruan merek, gugatan pencabutan registrasi merek karena tidak dipakai dalam perdagangan selama 3 tahun berturut-turut dan kemiripan nama merek.
Langganan:
Postingan (Atom)
Otoritas Jasa Keuangan telah mengeluarkan Peraturan OJK (POJK) No. 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian sehubungan dengan Covid-19
Otoritas Jasa Keuangan telah mengeluarkan Peraturan OJK (POJK) No. 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional. Isinya akan dibe...
-
Nah Lo Ketahuan!! Infoteratas Indonesia 10 hrs ago fpi , Nasional Infoteratas.com - Media Sosial tengah dihebohkan dengan keakraban...