Kamis, 26 Januari 2012

Perlu ... Reformasi ke- Polisi -an RI

....dulu (ORBA) Polri lepas dari ABRI menjadi dibawah Presiden.
Dimasa depan, dimulai dari sekarang...perjuangkan agar kepolisian berada dibawah Gubernur.
Supaya polisi bisa diawasi kinerjanya dari mulai tingkat daerah oleh pemerintah sipil. 

Jika tidak ada pengawasan kinerja secara berjenjang oleh institusi diluar tubuhnya sendiri/POLRI, maka pemerintah daerah...apalagi pemerintah pusat akan kewalahan atas pengelolaan institusi ini.


Hal ini juga berhubungan langsung dengan tata-cara pemilihan Gubernur yang sudah berlangsung / de facto ...sehingga kepala pemerintah daerah adalah yang dipilih langsung oleh Rakyat.

Kamis, 19 Januari 2012

TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 02 TAHUN 2011
TENTANG
TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN

Menimbang:
a. Keterbukaan informasi merupakan sarana dalam mengoptimalkan partisipasi publik terhadap penyelenggaraan negara dan badan publik lainnya dan segala sesuatu yang berakibat pada kepentingan publik;
b. Bahwa Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik belum secara jelas mengatur tata cara penyelesaian sengketa informasi di Pengadilan;
c. Bahwa untuk itu Mahkamah Agung memandang perlu mengatur tata cara penyelesaian sengketa informasi di Pengadilan melalui Peraturan Mahkamah Agung.

Mengingat:
1. Pasal 24 Undang-undang Dasar Tahun 1945 sebagaimana telah diubah dan ditambah, dengan Perubahan Keempat Tahun 2002;
2. Reglemen Indonesia yang diperbarui (HIR), Staatsblaad Nomor 44 Tahun 1941 dan Reglemen Hukum Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (RBg), Staatsblaad Nomor 227 Tahun 1927;
3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan terakhir dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
4. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dan terakhir dengan Undang-undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum;
5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan terakhir dengan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
6. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik; dan
7. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: 
TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Mahkamah Agung ini yang dimaksud dengan:
1. Gugatan adalah keberatan yang diajukan oleh salah satu atau para pihak yang secara tertulis menyatakan tidak menerima Putusan Komisi Informasi (selanjutnya disebut “Keberatan”).
2. Putusan Komisi Informasi adalah putusan ajudikasi non litigasi yang dikeluarkan oleh Komisi Informasi terkait sengketa antara Badan Publik dan Pemohon Informasi Publik berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-undang tentang Keterbukaan Informasi Publik.
3. Komisi Informasi adalah lembaga sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
4. Informasi adalah keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-tanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik ataupun non-elektronik.
5. Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu Badan Publik Negara dan Badan Publik selain Badan Publik Negara yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang¬undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.
6. Pemohon Informasi adalah warga negara dan/atau badan hukum Indonesia yang mengajukan permintaan informasi publik sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
7. Badan Publik adalah Badan Publik Negara dan Badan Publik selain Badan Publik Negara.
8. Badan Publik Negara adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.
9. Badan Publik selain Badan Publik Negara adalah adalah BUMN, BUMD, organisasi non pemerintah dan partai politik yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.
10. Pihak adalah pihak-pihak yang semula bersengketa di Komisi Informasi, yaitu Pemohon Informasi dengan Badan Publik Negara atau Badan Publik selain Badan Publik Negara.
11. Hari adalah hari kerja.
12. Pengadilan adalah Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tata Usaha Negara

BAB II
KEWENANGAN MENGADILI

Pasal 2
Penyelesaian sengketa informasi di Pengadilan dilakukan oleh Peradilan Umum atau Peradilan Tata Usaha Negara.

Pasal 3
Sesuai dengan Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik:
a. Pengadilan Negeri berwenang untuk mengadili sengketa yang diajukan oleh Badan Publik selain Badan Publik Negara dan/atau Pemohon Informasi yang meminta informasi kepada Badan Publik selain Badan Publik Negara.
b. Pengadilan Tata Usaha Negara berwenang untuk mengadili sengketa yang diajukan oleh Badan Publik Negara dan/atau Pemohon Informasi yang meminta informasi kepada Badan Publik Negara.

BAB III
TATA CARA PENGAJUAN KEBERATAN

Pasal 4
(1) Salah satu atau para pihak yang tidak menerima putusan Komisi Informasi dapat mengajukan keberatan secara tertulis ke Pengadilan yang berwenang.
(2) Keberatan sebagaimana dimaksud ayat (1) diajukan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sejak salinan putusan Komisi Informasi diterima oleh para pihak berdasarkan tanda bukti penerimaan.
(3) Dalam hal salah satu atau para pihak tidak mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud ayat (2) maka putusan Komisi Informasi berkekuatan hukum tetap.

Pasal 5
(1) Setiap keberatan, baik yang diajukan oleh Pemohon Informasi maupun Badan Publik diajukan ke Pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan Badan Publik.
(2) Dalam hal keberatan diajukan oleh Pemohon Informasi namun tempat kedudukan Badan Publik tidak berada dalam wilayah hukum Pengadilan tempat kediaman Pemohon Informasi, maka keberatan dapat diajukan ke Pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat kediaman Pemohon Informasi untuk selanjutnya diteruskan kepada Pengadilan yang bersangkutan.
(3) Pengadilan yang menerima permohonan sebagaimana dimaksud ayat (2) wajib mengirimkan ke Pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud ayat (1).

Pasal 6
(1) Selambat-lambatnya 14 (empat betas) hari sejak keberatan di register di Kepaniteraan Pengadilan, Panitera meminta Komisi Informasi yang memutus perkara tersebut untuk mengirimkan salinan resmi putusan yang disengketakan serta seluruh berkas perkaranya.
(2) Komisi Informasi wajib mengirimkan putusan dan berkas perkara sebagaimana dimaksud ayat (1) ke Pengadilan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sejak permintaan diajukan.
(3) Termohon keberatan dapat menyerahkan jawaban atas keberatan kepada Panitera Pengadilan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak keberatan diregister.
(4) Selambat-lambatnya 3 (tiga) hari setelah lewat tenggang waktu sebagaimana dimaksud ayat (3), Ketua Pengadilan menunjuk Majelis Hakim untuk mengadili perkara.

BAB IV
TATA CARA PEMERIKSAAN

Pasal 7
(1) Pemeriksaan dilakukan secara sederhana hanya terhadap Putusan Komisi Informasi, berkas perkara serta pemohonan keberatan dan jawaban atas keberatan tertulis dari para pihak.
(2) Pemeriksaan dilakukan tanpa proses mediasi.
(3) Pemeriksaan bukti hanya dapat dilakukan atas hal-hal yang dibantah salah satu atau para pihak serta jika ada bukti baru selama dipandang perlu oleh Majelis Hakim.
(4) Untuk terangnya suatu perkara, Majelis Hakim dapat memanggil Komisi Informasi untuk memberikan keterangan apabila diperlukan.

Pasal 8
(1) Keberatan diperiksa dan diputus oleh Majelis Hakim yang sedapat mungkin terdiri dari hakim-hakim yang mempunyai pengetahuan di bidang keterbukaan informasi.
(2) Pemeriksaan keberatan dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum, kecuali terhadap pemeriksaan dokumen yang berisikan informasi yang dikecualikan.
(3) Majelis Hakim wajib menjaga kerahasiaan dokumen sebagaimana dimaksud ayat (2).
(4) Pemohon Informasi atau kuasanya tidak dapat melihat atau melakukan pemeriksaan terhadap dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud ayat (2).

Pasal 9
(1) Pengadilan wajib memutus dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak Majelis Hakim ditetapkan.
(2) Terhadap putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan kasasi ke Mahkamah Agung dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum apabila para pihak hadir atau 14 (empat belas) hari sejak isi atau amar putusan diberitahukan kepada para pihak oleh Jurusita untuk sengketa di Pengadilan Negeri, atau sejak pemberitahuan putusan dikirimkan melalui pos untuk sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara.
(3) Mahkamah Agung wajib memutus dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak Majelis Hakim ditetapkan.

BAB V
PUTUSAN

Pasal 10
(1) Putusan diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
(2) Putusan Pengadilan dapat berupa membatalkan atau menguatkan putusan Komisi Informasi dengan merujuk pada Pasal 49 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

BAB VI
PELAKSANAAN PUTUSAN

Pasal 11
Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dilaksanakan sesuai dengan hukum acara yang berlaku di masing-masing lingkungan peradilan.

Pasal 12
(1) Putusan Komisi Informasi yang berkekuatan hukum tetap dapat dimintakan penetapan eksekusi kepada Ketua Pengadilan yang berwenang oleh Pemohon Informasi.
(2) Permohonan untuk mendapatkan penetapan eksekusi sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan dengan mengajukan permohonan tertulis dengan melampirkan salinan resmi putusan Komisi Informasi yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut ke Pengadilan dalam wilayah hukum Badan Publik sebagai Termohon Eksekusi.
(3) Ketua Pengadilan mengabulkan atau menolak pemberian penetapan eksekusi dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari.
(4) Penetapan eksekusi sebagaimana dimaksud ayat (1) dibuat sesuai dengan format sebagaimana terlampir dalam Peraturan ini.
(5) Putusan Komisi Informasi yang telah mendapatkan penetapan eksekusi dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan sesuai dengan Pasal 11.

BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 13
(1) Terhadap sengketa informasi yang telah didaftarkan ke Pengadilan namun belum diperiksa oleh majelis hakim berlaku ketentuan dalam Peraturan ini.
(2) Terhadap putusan Komisi Informasi yang telah diputus namun belum dilaksanakan dapat dimintakan penetapan eksekusi sebagaimana diatur dalam Peraturan ini.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 14
Ketentuan hukum acara perdata dan tata usaha Negara tetap berlaku sepanjang tidak ditentukan lain dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Peraturan Mahkamah Agung ini.

Pasal 15
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di Jakarta,
Pada tanggal 29 November 2011
KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA,

Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan uji materi UU Nomor 13/2003

Keputusan MK yang diambil pada 17 Januari 2012 membawa implikasi perlunya amandemen terhadap UU Ketenagakerjaan.
Dalam sidang, Selasa (17/1/2012), MK menyatakan, Pasal 65 ayat 7 dan Pasal 66 ayat 2 huruf b UU Ketenagakerjaan bertentangan secara bersyarat dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Putusan ini memperbaiki posisi tawar pekerja alih daya (Outsourcing) yang masa kerja sangat bergantung pada kontrak kerja dari perusahaan pemberi borongan.
MK memutuskan, penyerahan sebagian pekerjaan kepada pekerja alih-daya tidak boleh lagi memakai pola perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Perusahaan yang mengalihkan sebagian pekerjaan kepada pihak ketiga juga wajib membayar upah pekerja alih daya sama seperti pekerja tetap untuk jenis pekerjaan yang sama.
Pendapat/komentar atas putusan ini:

Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN, Abdul Latief Algaff, mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan permohonan pekerja kontrak di PT PLN. Abdul menjelaskan, sistem outsourcing banyak mengabaikan hak pekerja. Mereka hanya diperas tenaganya, namun bayaran yang diberikan minim dan tidak mendapat fasilitas seperti pegawai tetap, walau pun sudah bekerja selama puluhan tahun.

Ketua Bidang Pengupahan dan Jaminan Sosial Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi B. Sukamdani di Jakarta hari ini (19/1)mengatakan, Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan sebagian uji materi UU No 13 tahun 2003, khususnya tentang pekerja alih daya (outsourcing) dikhawatirkan akan menciutkan kesempatan kerja. karena pekerja alih daya maupun pekerja tetap perusahaan pemberi kerja, memiliki  hak atas manfaat yang adil tanpa diskriminasi. Akibatnya, biaya ketenagakerjaan akan semakin tinggi dan perusahaan alihdaya harus mengatur ulang model bisnisnya. Kesempatan kerja yang tersedia diperkirakan akan berkurang.
 
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi tentang hak pekerja alih daya berkait uji materi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun, Kemnakertrans menilai putusan ini tidak bisa langsung diterapkan tanpa persiapan karena bisa menimbulkan perselisihan.
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemnakertrans Myra Maria Hanartani didampingi Kepala Pusat Hubungan Masyarakat Suhartono menjelaskan hal ini di Jakarta, Rabu (18/1/2012).

Otoritas Jasa Keuangan telah mengeluarkan Peraturan OJK (POJK) No. 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian sehubungan dengan Covid-19

Otoritas Jasa Keuangan telah mengeluarkan Peraturan OJK (POJK) No. 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional. Isinya akan dibe...